Thursday, February 8, 2007

SEJARAH NAGARI SANIANGBAKA

Catatan yang mengisahkan sejarah nagari Saniangbaka sangat sedikit ditemukan. Dalam banyak tambo dan buku-buku yang berkaitan dengan Minangkabau, tidak banyak yang mencatat sejarah ini. Salah satu yang memuat sejarah Saniangbaka adalah dalam Mahmoed (1978). Disebutlah suatu masa Datuk Katumenggungan mendirikan sebuah kerajaan bernama Bungo Setangkai yang berpusat di Sungai Tarab. Mula-mula perkembangan kerajaan ini adalah membuat kubu pertahanan kerajaan dan untuk membuat lingkaran pertahanan ini Datuk Katumenggungan menugaskan seorang hububalang pemberani dari Pariangan Padang Panjang untuk menjadi kepala pertahanan. Hulubalang ini kemudian ditugaskan untuk membuat pertahanan kerajaan, yang mula-mula membuat sebuah nagari bernama Batipuh. Setelah Batipuh, kemudian hulubalang ini membuat 10 koto yaitu bentuk suatu daerah, sebelum menjadi nagari, yang penduduknya sudah banyak meski tinggal berjauhan tetapi sudah mulai berinteraksi secara intensif di suatu tempat. Koto-koto tersebut terdiri dari Paninjauan, Gunung, Jao, Tambangan, Singgalang, Pandai Sikek, Koto Laweh, Koto Baru, Aia Angek, Panyalaian. Setelah kesepuluh koto itu selesai, hulubalang tersebut membuat kubu pertahanan ke arah timur dengan 10 daerah pula yaitu Sungai Jambu, Labuatan, Simawang, Bukit Kandung, Sulit Aie, Tanjung Balit, Singkarak, Saniangbaka, Silungkang dan Padang Sibusuk (Mahmoed, 1978:37-38).

Pada masa kerajaan Pagaruyung, kesepuluh daerah pertahanan yang ada di timur ini menjadi bagian dari langgam nan tujuah.
Langgam nan tujuah merupakan sebutan bagi tujuh pihak yang membantu pelaksanaan pemerintahan kerajaan pagaruyung di bawah kepemimpinan Raja Alam. Adapun langgam nan tujuah ini terdiri dari:

  1. Pamuncak Koto Piliang, berkedudukan di Sungai Tarab, sebagai pimpinan.
  2. Harimau Campo Koto Piliang, berkedudukan di Batipuh, sebagai panglima perang.
  3. Pardamaian Koto Piliang, berkedudukan di Simawang dan Bukit Kandung, sebagai pendamai nagari-nagari yang bersengketa.
  4. Pasak Kungkung Koto Piliang, berkedudukan di Sungai Jambu dan Labuatan.
  5. Carmin Taruih Koto Piliang, berkedudukan di Saniangbaka dan Singkarak, sebagai badan penyidik.
  6. Cumati Koto Piliang, berkedudukan di Sulit Aie dan Tanjung Balit, sebagai pelaksana hukuman.
  7. Gajah Tonggak Koto Piliang, berkedudukan di Silungkang dan Padang sibusuk, sebagai kurir

    (Navis, 1984: 57-58; baca juga Mahmoed, 1978: 52-60).


 

Dalam langgam nan tujuah Saniangbaka merupakan carmin taruih koto piliang. Menurut salah seorang tukang dendang di Saniangbaka, arti carmin taruih Koto Piliang dapat dilihat secara harfiah dari kata-katanya, yaitu carmin yang berarti cermin. Cermin biasanya memberikan pandangan tentang sesuatu. Carmin taruih Koto Piliang bisa jadi berfungsi sebagai tempat yang dijadikan pandangan/contoh nagari lain tentang pelaksanaan kelarasan Koto Piliang. Sementara itu, menurut salah seorang penghulu yang juga tokoh Kerapatan Adat Nagari adalah sebagai berikut:

"Mangko Saniangbaka ko tasabuik carmin taruih Koto Piliang, baduo itu, sorang orang Singkarak, sorang orang Saniangbaka, diagiah pangkat artinyo kadudukannyo sebagai carmin taruih Koto Piliang. Tugasnyo apobilo ado persengketaan di Pagaruyuang, di Pariangan Padang Panjang, ndak ado penyelesaiannyo, mangko dihimbaulah urang nan baduo ko, artinyo inyo lah nan maagiah carmin, pengarahan. Jadi orang nan basangketo, nan basalisiah nan ndak kunjung dapek perdamaian, nah dari 2 urang nan pai ka Pagaruyuang ko nan maagiah carmin atau pedoman."

 

"Sebab Saniangbaka disebut Cermin terus Koto Piliang, (yang) berdua itu, seorang (dari) Singkarak, seorang (dari) Saniangbaka, diberi pangkat artinya kedudukannya sebagai cermin terus Koto Piliang. Tugasnya apabila terjadi persengketaan di Pagaruyuang, di Pariangan Padang Panjang, (dan) tidak ada yang bisa menyelesaikan, maka dipanggilah orang yang berdua tadi. Artinya ialah orang yang memberi cermin, pengarahan. Jadi orang yang bersengketa, yang berselisih tidak kunjung mendapatkan perdamaian, dari dua orang tersebut lah yang akan memberi cermin atau pedoman".


 

Adapun dari daerah pertahanan hingga membentuk sebuah nagari, Saniangbaka mengalami proses yang panjang. Nagari itu sendiri tumbuh mulai dari Taratak. Kata Taratak konon berasal dari tatak, artinya menandai batas-batas pada tebangan kayu dalam membuka lahan oleh seorang yang dibantu oleh anak-anaknya atau berkelompok tiga atau lima orang. Pada lahan yang telah ditatak (ditandai) itu mereka membangun pondok untuk tempat berteduh atau tinggal. Kemudian datang lagi kelompok lain dengan maksud yang sama yaitu untuk membuka peladangan. Kemudian setelah beberapa taratak terbuka dengan pondok-pondok atau rumah-rumah kecil, maka berdirilah dusun ditempat tersebut. Dari beberapa taratak yang lain berdiri pula dusun sehingga menjadi beberapa dusun. Setelah penduduk dusun tersebut menjadi ramai, maka berdirilah koto. Ada yang mengatakan koto mulanya berarti sebuah tempat yang dipagari dengan tanaman aur (bambu) serta parit, tetapi kemudian tempat tersebut menjadi area tempat bermain anak-anak atau tempat berkumpul melepas lelas penduduk setempat. Seiring waktu, tempat tersebut menjadi tempat bertemu antar penduduk, tempat berbincang-bincang dan semacamnya. Dari berbagai perbincangan dan perundingan beberapa anggota dusun maka bersepakatlah untuk membuat suatu nagari (Rais, 2003: xxiii-xxiv; baca juga Suarman, 2000:52-57; Amir MS, 1997 ).

Ini sesuai dengan informasi yang di sampaikan salah seorang tokoh penghulu Saniangbaka, yaitu sebagai berikut:

"Datanglah orang-orang baik melalui bukik, nyebrang danau jo sampan, tibo disiko nyo marambah. Nah itu namonyo Taratak. Itu memakan wakatu puluhan taun, Piak. Sudahlah salasai Taratak, makonyo banamo susun atau dusun, artinyo mulailah tasusun. Iko lah buek pondok, iko lah buek pondok, iko pondok (sambil menunjukkan pola sejajar dengan tangan). Mulai tasusun memakan wakatu nan panjang pulo, puluhan taun, menjadi koto. jadi Taratak-susun-koto. Koto ko lah mulai orang nan penghuni ko bakato-kato. Koto itu artinyo mulai berkato-kato atau berbincang baa kito, iko lah bakambang lo, lah ado rumah.
Salasai Taratak, lah salasai susun, lah salasai koto, meningkatlah jadi nagari. A..jadi nagari dibuek lah balai-balai, sudah tu dibangunlah surau namonyo, masajik kecek urang. Jadi kok lah sah nagari ko, ado balai-balai, ado musajik, ado basuku, batungganai rumah, ado bapandam pakuburan"

 

Datanglah orang-orang baik melalui bukit, menyeberangi danau dengan sampan. Sesampainya disini, mereka merambah (hutan). Nah, itu yang dinamakan Taratak. (Proses) itu memakan waktu puluhan tahun, piak. Sesudah selesai Taratak, maka bernama susun atau dusun, artinya mulailah tersusun. (Yang) ini telah membuat pondok, (yang) ini telah membuat pondok, ini telah membuat pondok (sambil menunjukkan pola sejajar dengan tangan). Mulai tersusun memakan waktu yang panjang pula, puluhan tahun, menjadi koto. Jadi Taratak-Dusun-Koto. (Saat menjadi) Koto ini mulailah penghuninya berkata-kata atau berbincang-bincang, bagaimana kita, ini sudah berkembang, sudah ada rumah. Setelah taratak, setelah susun, setelah koto, meningkatlah nagari. Aa..jadi nagari dibuat balai-balai, sesudah itu dibagunlah surau namanya, kata orang mesjid. Jadi kalau sudah syah menjadi nagari, ada balai adat, ada mesjid, ada bersuku, ber-tungganai rumah, ada ber-pandam pekuburan.

Dari informasi yang didapat dari beberapa informan di Nagari Saniangbaka, terdapat beberapa versi sejarah penamaan nagari ini. Dari beberapa versi yang berkembang, dari tiga versi cerita terdapat satu kesamaan yaitu bahwa kemunculan nama Saniangbaka adalah saat para penghulu ini berunding untuk menentukan nama yang akan dipakai oleh nagari, nama tersebut merujuk pada saat nagari ini masih di taruko, yaitu pada masa masih berbentuk taratak. Berikut tiga versi tersebut:

  1. versi "si Saniang nan tabaka"

Menurut informasi yang didapat dari Nadir Pono Sutan (60) dan YF Rajo Mangkuto (29), Nama Saniangbaka berasal dari peristiwa terbakarnya si Saniang ketika dia dibawa orang tuanya merambah hutan untuk membuka nagari tersebut. Diceritakan bahwa ketika orang tua si Saniang merambah hutan, mereka menumpuk hasil rambahan di suatu tempat yang ternyata berdekatan dengan tempat mereka meletakan Saniang, anak mereka. Ketika tumpukan hasil rambahan telah banyak, mereka membakarnya. Namun karena dekat dengan tempat si Saniang ditidurkan, api menjalar membakar si Saniang. Orang tua si Saniang pun panik dan berteriak, "si Saniang tabaka!!! Si Saniang tabaka!!". Meski tidak terdapat kejelasan tentang terbakarnya si saniang ini, sejak saat itu tempat yang dirambah tersebut dinamai Saniang tabaka yang lama-kelamaan menjadi Saniangbaka.

  1. versi "si Saniang mambaka"

Sementara itu menurut informan lain menyebutkan nama Saniangbaka muncul karena orang yang dari jauh melihat asap pembakaran hasil rambahan si Saniang. Seperti yang di sampaikan oleh salah seorang penghulu Saniangbaka:

"jadi dahulu Saniangbaka ko ado mempunyai sejarah khas. Nan patamo Saniangbaka ko ado dahulu nan banamo Taratak, arti Taratak orang-orang mulai marambah untuk nak mambuek nagari. Itu nyo hanyo berapo kaum dulu nan datang ka ranah ko dari Pariangan. Nah nampak Saniangbaka ko marangah dek inyo. Kito kinlah, rancak sinan kito buek nagari. Yo datanglah nyo kamari ado nan dari Simawang, Kacang, Tikalak. Iko nan tertinggi sinan. Jadi datanglah kamari. Jadi nampaklah seseorang nan lah memanggang artinya membakar rambahan atau nan dirambahnyo, kayu lah masik di panggangnyo, nampaklah asok: 'ah, tu, si Saniang lah mambaka'. Jadi manuruik sejarahnyo nan mulai mambaka rambahan ko si Saniang namonyo.

Saat perundingan datuk nan salapan saat akan menamai nagari ini, ada salah seorang datuk yang mengusulkan
"Manuruik nan didanga dek awak, mulo-mulo nan marambah nagari ko si Saniang ah, nan inyo lo nan mulo-mulo mambaka di nagari ko, mangkasuiknyo mambaka rambahannyo nan lah masik, kalo kito buek namo Saniangbaka baa? maka jadilah Saniangbaka"

 

Jadi dahulu Saniangbaka ini ada mempunyai sejarah khas. Yang pertama Saniangbaka ini ada dahulu bernama Taratak, arti taratak orang-orang mulai merambah untuk membuat nagari. (Pada saat) itu beberapa kaum yang datang dari Pariangan Padang Panjang. Nah, terlihat Saniangbaka ini meranggas oleh mereka. "Kita ke sana lah, baik disana kita buat nagari". Yaa, datanglah mereka ke sini. Ada yang dari Simawang, Kacang, Tikalak. Ini yang tertinggi di sana. Jadi datanglah ke sini. Jadi terlihat seseorang yang telah membakar, artinya membakar rambahan atau yang dirambahnya. Kayu telah kering dibakarnya, terlihatlah asap, "ah, tu si Saniang telah mebakar". Jadi menurut sejarangnya, yang memulai membakar rambahan ini si Saniang namanya. (Pada) saat perundingan Datuak nan Salapan, saat akan memberi nama Nagari ini, ada salah seorang Datuak yang mengusulkan, "Menurut yang didengar oleh kita, mula-mula yang merambah nagari ini (yaitu) si Saniang. Ah, dia juga yang mula-mula membakar (lahan) nagari ini - maksudnya membakar rambahannya yang sudah kering. Bagaimana kalau kita buat nama nagari ini Saniangbaka?? Maka jadilah (nama nagari ini) Saniangbaka"

  1. versi Sandiang nan tabaka.

Versi ini menyebutkan bahwa munculnya nama Saniangbaka adalah karena saat daerah ini mulai dirambah, dari jauh yaitu dari Pariangan Padang Panjang nampak ada sandiang atau sudut antara dua bukit yang terbakar.


 

Sementara itu satu versi sejarah Saniangbaka yang sama sekali berlainan dari tiga versi sebelumnya berpatokan pada arti kata Saniangbaka secara harfiah, kemudian dicari makna yang terkandung di dalamnya. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh beberapa informan yaitu salah seorang tukang dendang, salah seorang penghulu Balai Mansiang dan salah seorang warga yang merupakan kemenakan si saniang yang intinya sama, yaitu sebagai berikut:

"Indak ka mungkin Saniangbaka ko asalnyo dari kato si Saniang nan tabaka. Tabaka, istilah minang yang dipakai untuak marujuak ka membakar adalah mamanggang indak mambaka, mambaka itu asalnyo dari bahasa Indonesia nan di minangkan. Membakar-mambaka, itu kini. Kok tabaka nan dipakai wakatu nagari kok ka dibuka, berarti Saniangbaka ko baru ado setelah bahasa Indonesia jadi bahasa nasional, kan? Sementaro, dalam tambo Minangkabau jo cerita dari nan gaek-gaek, nagari ko lah ado sejak 5-6 abad nan lalu. Baa, ndak ado kolerasinyo, kan?"

"tapi kok awak caliak dalam bahasa minang, baka itu bisa jadi artinyo bekal. Sementaro Saniangnyo sendiri asalnyo dari kato sahaniang, yaitu ciek tempat yang sunyi. Jadi Saniangbaka ko maknanyo ciek tempat sunyi nan bisa dijadikan untuk mencari bekal hiduik. Baa model itu? Iko arek kaitannyo jo langgam nan tujuah, bahwa nagari ko dijadian carmin taruih Koto Piliang."

 

"Tidak mungkin Saniangbaka ini asalnya dari kata si Saniang yang tabaka. Tabaka, istilah Minang yang digunakan untuk merujuk kata membakar adalah mamanggang, bukan membakar. Membakar itu asalnya dari bahasa Indonesia yang di-Minang-kan. (kata) membakar - mambaka itu (digunakan) sekarang. Kalau tabaka yang digunakan waktu nagari ini dibuka, berarti Saniangbaka ini baru ada setelah Bahasa Indonesia jadi bahasa nasional kan ?? Sementara dalam tambo Minangbakau ditambah cerita dari orang tua, nagari ini telah ada sejak 5-6 abad yang lalu. Bagaimana, tidak ada korelasi nya kan ?"

"Tapi kalau kita lihat dalam bahasa Minang, baka itu bisa jadi artinya bekal. Sementara Saniang sendiri asalnya dari kata Sahaniang, yaitu satu tempat yang sunyi. Jadi Saniangbaka ini maknanya (adalah) satu tempat sunyi yang bisa dijadikan untuk mencari bekal hidup. Kenapa seperti itu ? ini erat kaitannya dengan langgan nan tujuah, bahwa nagari ini dijadikan carmin taruih Koto Piliang."


 

Saniangbaka, nagari tapian danau...


Secara adminisitratif Nagari Saniangbaka merupakan bagian dari Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. Nagari ini berbatasan dengan daerah lain yaitu di sebelah Utara dengan Nagari Muaro Pingai; Sebelah Selatan dengan Nagari Koto Sani dan Sumani; Sebelah Barat dengan Lubuk Minturun – Kodya Padang, dan Sebelah Timur dengan Nagari Singkarak. Nagari yang mempunyai luas daerah 91,72 Km2 ini berada pada ketinggian 400 M di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 1500 mm/tahun. Nagari ini terdiri atas 6 jorong, yaitu Jorong Aia Angek, Balai Batingkah, Balai Panjang, Balai Lalang, Balai Gadang dan Kapalo Labuah. Pemukiman di nagari dikelilingi oleh perbukitan, yang oleh masyarakat dinamakan hutan tunjuk, Danau Singkarak dan sebagian lainnya oleh area persawahan. Kontur tanah nagari yang beragam membuat nagari ini kaya akan sumber daya alam. Hutan tunjuknya, yang kebanyakannya adalah pusako, merupakan ladang subur yang menghasilkan hasil perkebunan seperti kopi, cengkeh, kayu jati dan sebagainya. Penduduk nagari juga seringkali mengumpulkan kayu bakar dari hutan ini. Selain menjadi daerah perladangan, salah satu bukit diantara perbukitan yang menjadi hutan tunjuk tersebut diduga mengandung batu bara. Ini sesuai dengan yang disampaikan oleh dubalang[1] suku Balai Mansiang bahwa kemungkinan bukit tersebut mengandung batu bara sangat besar. Ini dibuktikan dengan dilakukannya penelitian tentang kandungan mineral dalam di dalamnya oleh pemerintah daerah. Kenyataan ini juga masuk akal karena kadang-kadang pada musim kemarau tiba bukit tersebut terbakar dengan sendirinya. Sementara itu Danau Singkarak mengandung kekayaan ikan khas yang jarang ditemui di daerah lain yaitu ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dan rinuak (Rasbora argyrotaenia). Meski kedua jenis ikan ini juga terdapat di Danau Maninjau, Kabupaten Tanah Datar, tetapi konon menurut beberapa nelayan di Saniangbaka dan Maninjau, kekhasan ikan dari masing-masing danau dapat dibedakan secara kasat mata baik dari ukuran tubuhnya maupun rasanya. Kelangkaannya membuat kedua jenis ikan ini menjadi ciri khas daerah yang selalu diburu pembeli. Keduanya tidak hanya dijual di dalam wilayah Sumatera Barat saja, tetapi juga di daerah lain di dalam dan luar negeri (Hartoto dan Iwakuma, 2002; http://www.suarapembaruan.com/News/2004/08/15/index.html). Area persawahannya yang cukup luas dan produktif menghasilkan beras yang hasilnya tidak hanya cukup untuk dikonsumsi masyarakat nagari tetapi juga dapat dijadikan sumber pendapatan masyarakat. Masyarakat sering menjual beras tersebut ke daerah di luar nagari seperti ke kota Solok, Padang, bahkan sampai ke pulau Jawa, karenanya Saniangbaka dikenal sebagai salah satu daerah penghasil beras Solok, yang konon merupakan beras termahal di Indonesia.

Untuk menuju nagari ini cukup mudah, karena tersedia sarana dan prasarana perhubungan yang memadai. Jalan raya yang menghubungkan nagari ini dengan daerah luar sudah merupakan jalan aspal, sehingga dapat dilalui oleh kendaraan roda dua atau lebih. Adapun akses masuk nagari ini melalui Pasar Sumani di Nagari Sumani. Daerahnya sendiri berjarak 5 km dari kota kecamatan (X Koto Singkarak), 24 km dari pusat kota Solok, 50 km dari ibu kota kabupaten Solok, Arosuka, dan 87 km dari ibukota provinsi, Padang. (Database Kecamatan X Koto Singkarak Tahun 2006). Untuk mencapai nagari ini dari kota Padang tersedia angkutan umum berupa bis kota jurusan Padang - Kota Solok dengan tarif Rp.10.000,00 atau dapat juga menggunakan jasa travel dengan tarif Rp.20.000,00 dengan tujuan yang sama. Dari terminal kota Solok perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan jenis bis roda 4 jurusan Solok - Saniangbaka yang langsung mengantar hingga ke tujuan di nagari Saniangbaka. Karena angkutan umum yang langsung ke Saniangbaka jam beroperasinya terbatas maka jika hari mulai gelap, berkisar jam 18.30, dapat dipergunakan angkutan alternatif yaitu menggunakan Betor (Becak Motor) dengan tarif Rp.25.000.00. Keadaan alam nagari dengan adanya danau Singkarak memberi nilai keindahan tersendiri, namun hingga kini pemanfaatannya di bidang pariwisata masih sedikit. Padahal akses menuju danau ini bisa dikatakan mudah yaitu tinggal mengikuti jalan nagari yang sudah diaspal hingga ke belakang pemukiman penduduk nagari. Sayangnya untuk menikmati keindahan ini kurang didukung oleh sarana prasarana penunjang, ini ditunjukkan dengan kurang tersedianya tempat khusus yang dibangun untuk menikmati pemandangan danau, dan hanya terdapat satu rumah makan milik perorangan yang beroperasi. Meski demikian, bidang perikanan yang khas di danau ini telah menarik minat peneliti perikanan dari Universitas Andalas akan kelangkaan jenis ikan yang ada di sini. Di salah satu bukit juga terdapat sebuah daerah yang dapat dijadikan sebagai tempat bersejarah yaitu yang disebut oleh penduduk sebagai Gaduang Beo. Tempat ini pada jaman dulu merupakan kantor pusat pengawasan pelaksanaan kultur stelsel yang dilakukan Belanda di daerah tersebut. Hingga sekarang di sana masih berdiri bangunan lamanya meski sudah tanpa atap. Hanya saja sulitnya medan menuju ke sana, membuat tempat ini jarang dikunjungi. Untuk menuju lokasinya, kita harus melewati perbukitan dengan jalan terjal yang belum beraspal, melewati area peladangan penduduk. Adapun waktu tempuh yang dibutuhkan berkisar 1,5 jam perjalanan menggunakan sepeda motor yang biasa digunakan untuk off road atau kendaraan roda empat atau lebih yang menggunakan mesin 4WD yaitu kendaraan yang memiliki gardan ganda yang cocok untuk menempuh medan yang berat.


[1] orang yang bertugas mengawasi pelaksanaan aturan adat oleh seluruh anggota suku, termasuk penghulu. Ia juga menjadi pihak yang menjaga dan mempertahankan batas-batas kewilayahan baik wilayah suku lain maupun nagari secara keseluruhan.